Hikari Solution.Net

Melayani : Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Konsultasi Olah Data & Game Online

  • Hikari Komputer

    Telp. 0852 9090 1322

  • Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

    Bergabung dengan 9 pelanggan lain
  • Kategori

  • Chat Yuk…


    Status YM

    Pengunjung Online

  • Tolong dong suster… bawa ke Hikari..!!

    Get Well Myspace Comments

  • Tukar Link

    <a href="https://rentalhikari.wordpress.com" target="_blank"><img class="alignnone size-full wp-image-132" title="HIKARI KOMPUTER" src="https://rentalhikari.files.wordpress.com/2009/11/hikari-komputer.gif" alt="" width="177" height="24" /></a>

    Kopi kode diatas dan taruh di sidebar blog anda, stlh itu hub saya via komentar saya link balik okay... pisss...

  • Teman-teman

    shmilytronik

Konsultasi Olah Data

Posted by Dwi Prianto pada 10 November 2009

Melayani Konsultasi Olah Data Seluruh Wilayah Indonesia :

Karya Tulis Ilmiah / Skripsi Kesehatan

Konsultasi Olah Data KTI & Skripsi (SPSS) Kesehatan

Info Lebih Lanjut :

Hubungi : 0852 9090 1322 (WhatApp) 

Alamat Kantor : Jalan Intan Raya Nomer 4 Kelurahan Sambiroto Kecamatan Tembalang Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah (Depan STIKES Karya Husada Semarang)

Alamat Rumah : Plamongan Indah Blok E8 Nomer 8 RT 7 RW 29 Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah

 

Posted in Jasa Hikari | 1 Comment »

Askep Fraktur

Posted by Dwi Prianto pada 31 Juli 2017

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN FRAKTUR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera pada satu bagian sistem muskuloskeletal biasanya menyebabkan cedera atau disfungsi struktur disekitarnya dan struktur yang dilindungi atau disangganya. Bila tulang patah, otot tidak bisa berfungsi ; bila saraf tak dapat menghantarkan impuls ke otot, seperti pada paralisis, tulang tak dapat bergerak ; bila permukaan sendi tidak dapat berartikulasi dengan normal, baik tulang maupun otot tidak dapat berfungsi dengan baik. Jadi, meskipun fraktur secara primer hanya mengenai tulang, namun juga mengakibatkan cedera pada otot, pembuluh darah, dan saraf disekitar fraktur.
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dengan penyusunan makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Fraktur diharapkan mahasiswa dapat mengetahui konsep dasar klien dengan fraktur
2. Tujuan Khusus
Dengan penyusunan makalah asuhan keperawatan klien dengan fraktur ini mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang:
a. Pengertian fraktur
b. Etiologi fraktur
c. Klasifikasi fraktur
d. Manifestasi klinis fraktur
e. Patofisiologi fraktur
f. Pathway fraktur
g. Proses penyembuhan tulang
h. Komplikasi fraktur
i. Pemeriksaan penunjang
j. Penatalaksanaan medis
k. Konsep asuhan keperawatan klien fraktur

BAB II
KONSEP TEORI

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Menurut U.S.Govt (2005); menyebutkan bahwa fraktur adalah kondisi kesehatan dimana tulang mengalami keretakan, kehancuran, atau kepatahan yang disebabkan oleh trauma atau benturan fisik.
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
Pengertian lain dari fraktur yaitu hilangnya kesinambungan substansi tulang dengan atau tanpa pergeseran fragmen-fragmen tulang atau
terputusnya hubungan/kontinuitas jaringan tulang.

B. Etiologi
Etiologi fraktur meliputi :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
Etiologi fraktur menurut Akira (2008), antara lain :
1. Trauma
 Langsung (kecelakaan lalulintas)
 Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
2. Patologis : Metastase dari tulang
3. Degenerasi
4. Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

C. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut jumlah garis fraktur :
 Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
 Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur)
 Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas)
2. Menurut luas garis fraktur :
 Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung)
 Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
 Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang)
3. Menurut bentuk fragmen :
 Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
 Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
 Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
 Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
a) Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi ringan, luka 1 cm.
c) Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar.
 Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar)
 Klasifikasi patah tulang menurut Akira (2005):
patah tulang dapat dibagi menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka sampai ke tulang yang patah.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
Patang tulang juga dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ), patah tulang kompresi, impresi dan patah tulang patologis.
Derajat patah tulang terbuka terbagi atas 3 macam yaitu :
1. Laserasi 2 cm kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang
Jenis patah tulang dapat digolongkan menjadi :
1. Visura (Diafisis metatarsal
2. Serong sederhana (Diaphisis metacarpal)
3. Lintang sederhana (diafisis tibia)
4. Kominutif (Diafisis femur)
5. Segmental ( Diafisis tibia )
6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak)
7. Kompresi (Korpus vertebral th. XII )
8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
9. Impresi (tulang tengkorak )
10. Patologis (Tomur diafisi humerus,kurpus vertebral)

D. Manifestasi Klinis
Tanda klasik fraktur meliputi:
1. Nyeri
2. Deformitas
3. Krepitasi
4. Bengkak
5. Peningkatan temperatur lokal
6. Pergerakan abnormal
7. Ecchymosis
8. Kehilangan fungsi
9. Kemungkinan lain.
Tanda dan gejala lain pada fraktur adalah:
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi

E. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpenito, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)

F. Pathway
Terlampir di rental Hikari.

G. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)

H. Komplikasi Fraktur
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.(Black, J.M, et al, 1993).

I. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray dan radiography
2. Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
3. Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
4. Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
5. Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
6. MRI
7. Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
8. Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)

J. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan medis pada fraktur dikenal dengan empat istilah 4 R yaitu:
1. Rekognisi
Mampu mengenal fraktur (jenis, lokasi, akibat) untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2. Reduksi
Tindakan dengan membuat posisi tulang mendekati keadaan normal, dikenal dengan 2 jenis reduksi, yaitu:
a. Reduksi tertutup : mengembalikan pergerakan dengan cara manual (tertutup) dengan tarikan untuk menggerakkan ujung fragmen tulang.
b. Reduksi terbuka : pembedahan dengan tujuan memasang plat untuk mempertahankan pergerakan dengan plate, screw, pin, wire, hail.
3. Retensi
Melakukan imobilisasi, dengan pemasangan gips, imobilisasi eksternal dengan FEDS dan imobilisasi internal (ORIF).
4. Rehabititasi
Mengembalikan fungsi kesemula termasuk fungi tulang, otot dan jaringan sekitarnya. Bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Elevasi untuk meminimalkan swelling, bisa dilakukan kompres dingin
c. Monitor status neurovaskuler (sirkulasi, nyeri, sensasi, pergerakan)
d. Kontrol (ansietas, nyeri)
e. Latihan isometrik untuk mencegah atrofi, mempertahankan sirkulasi
f. Partisipasi dalam kegiatan sehari-hari.
(Smeltzer,2001; Sjamsuhidayat, 2005)
Jenis-jenis tindakan atau penanganan medis pada fraktur yaitu:
1. Rest atau istirahatkan ekstremitas
Tujuan: mempercepat penyembuhan, meminimalkan terjadinya inflasi, bengkak dan nyeri, mobilisasi tulang atau sendi.
2. Traksi : merupakan tindakan dengan memberikan suatu tarikan dari dua arah yang berlawanan, juga ditambah dengan adanya beban untuk menarik.
Tujuan : mengurangi dislokasi, mengurangi spasme otot dan nyeri, melakukan koreksi, mencegah deformitas tulang.
Jenis traksi : Skeletal traksi (memasang wire atau pin dibagian distal tulang yang fraktur)
Skin traksi : sebagai traksi pada tulang dan jaringan sekitar seperti otot. Cara pemasangan dengan memberikan beban yang berlawanan dari badan klien.
3. Pemasangan gips : tindakan memasang plester atau fiberglass pada area fraktur.
Tujuan : Imobilisasi, mencegah deformitas, mempercepat penyembuhan.
4. Reduksi internal : misal ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada daerah fraktur, kemudian melakukan implan pada tulang yang patah dan menyambungkan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah.
5. Reduksi eksternal : misal FEDS yang merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi perkutaneus untuk memasang pins pada tulang yang patah dan menyambungkan pins pada frame metal eksternal yang cukup besar, mencegah pergerakan.
6. Pembedahan
 Bone graft : Penempatan jaringan tulang untuk mempercepat penyembuhan, stabilisasi dan mengganti tulang yang terkena penyakit.
 Amputasi : Pemotongan bagian tubuh
 Vasiotomy : insisi otot vascia, menyembuhkan konstriksi otot, cegah kontraktur.
 Arthoplasty : Memperbaiki sendi melalui arthroscope (alat pembedahan tanpa insisi luas) atau pembedahan persendian terbuka.
 Menisectomy : Eksisi persendian fibrokartilago yang rusak.
 Joint Replacement : Substitusi persendian dengan material logam / sintetik
 Total joint replacement : mengganti kedua artikular sendi dengan logam/ sintetik
 Transfer tendon : Insersi tendon untuk memperbaiki fungsi.
(U.S. Gov,t, 2005)

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi:Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi :Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
f. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

3. Intervensi
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri, Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu, Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : – Penampilan yang seimbang.
– Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
– Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 mandiri penuh
 memerlukan alat Bantu.
 memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
 membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
 ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : – Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
– Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
– Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : – Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
– Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanannya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
7. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan fraktur adalah :
a. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
c. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
d. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
f. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Penanganan cedera sistem muskuloskeletal meliputi pemberian dukungan pada bagian yang cedera sampai penyembuhan selesai. Dukungan dapat diperoleh secara eksternal dengan pemberian balutan, pester, bidai, atau gips. Selain itu, dukungan dapat langsung dipasang ke tulang dalam bentuk pin atau plat. Kadang, traksi harus diberikan untuk mengoreksi deformitas atau pemendekan. Prinsip penanganan fraktur meliputi : rekognisi, reduksi, imobilisasi dan pengembalian funsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

B. Saran
Setelah efek cedera segera dan nyeri hilang, usaha penanganan difokuskan pada pencegahan fibrosis dan kekakuan pada stuktur tulang dan sendi yang cedera. Latihan yang baik dapat melindungi terhadap terjadinya kecacatan tersebut. Pada beberapa keadaan, dukungan yang diberikan memungkinkan aktivitas awal. Proses penyembuhan dan pengembalian fungsi dapat dipercepat dengan berbagai bentuk fisik

DAFTAR PUSTAKA

(http://akperppnisolojateng.blogspot.com/2008/10/askep_fraktur.html).

(http://asuhan_keperawatan_patriani.blogspot.com/2008/07/fraktur-i.html.).

(http://contoh_asuhankeperawatan.blogspot.com/2008/08/fraktur.html).

(http://indonesiannursing.com/2008/10/02/asuhan_keperawatan_pasien_dengan_multiple_fraktur/).

Apley, A. Graham, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia.

Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.

Posted in Askep | Leave a Comment »

LP Persalinan Normal

Posted by Dwi Prianto pada 31 Juli 2017

LAPORAN PENDAHULUAN
PERSALINAN NORMAL

A. Definisi Persalinan.
– Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan, disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh ibu. (Sulaiman Sastrawinata, 1983).

– Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin turi) yang dapat hidup didunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau jalan lain. (Rustam Muchtar, 1998).

B. Jenis Persalinan
1. Menurut cara persalinan.
– Persalinan spontan.
Proses lahir bayi dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan dan alat, serta tidak melukai ibu dan bayi yang berlangsung kurang dari 24 jam.
– Persalinan buatan.
Persalinan pervaginam dengan bantuan alat – alat atau melalui dinding perut dengan operasi secio caesaria.
– Persalinan anjuran
Kekuatan yang diperlukan untuk persalinan ditimbulkan dari luar dengan jalan rangsangan seperti pemberian pitocin atau prostaglandin atau pemecahan ketuban.
2. Menurut usia (tua kehamilan)
1. Abortus.
Pengeluarana buah kehamilan sebelum kehamilan 22 mg atau bayi dengan berat badan kurang dari 500 g.
2. Partus imaturus.
Pengeluaran buah kehamilan antara 22 mg dan 28 mg atau bayi dengan berat badan antara 500 g dan 999 g.
3. Partus prematurus.
Pengeluaran buah kehamilan antara 28 mg dan 37 mg atau dengan berat badan 1000 g dan 2499 g.
4. Partus matures / aterm
Pengeluaran buah kehamilan antara 37 mg dan 42 mg atau bayi dengan BB 2500 g atau lebih
5. Partus post matures / serotinus
Pengeluaran buah kehamilan setelah 42 mg.

C. Sebab – sebab yang menimbulkan persalinan.
1. Teori penurunan hormon progesterone.
Progesterone menimbulkan relaksasi otot rahim, sebaliknya estrogen meninggikan kerentanan otot rahim. Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara kadar progesterone dan estrogen didalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar progesterone menurun sehingga menimbulkan his.
2. Teori oxytocin.
Pada akhir kehamilan kadar oxytosin bertambah. Oleh karena itu timbul kontraksi otot – otot rahim.
3. Teori placenta menjadi tua.
Plasenta yang tua akan menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesterone yang akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah. Hal ini akan menimbulkan his.
4. Teori prostaglandin.
Prostaglandin yang dihasilkan oleh deciduas menimbulkan kontraksi miometrium pada setiap umur kehamilan.
5. Pengaruh janin.
Hipofise dan supra renal janin memegang peranan oleh karena pada anencephalus, kehamilan sering lama dari biasanya
6. Teori distensi rahim.
Rahim yang menjadi besar dan teregang yang menyebabkan iskemia otot – otot rahim sehingga mengganggu sirkulasi uteroplasenta.
7. Teori iritasi mekanik
Dibelakang serviks terletak ganglion servikalis, bila ganglion ini digeser dan ditekan misalnya oleh kepala janin maka akan menimbulkan his.

D. Gejala Persalianan.
1. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur
2. Keluarnya lendir bercampur darah lebih banyak. Hal ini terjadi karena robekan – robekan kecil yang terjadi pada serviks
3. Kadang – kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4. Pada pemeriksaan dalam serviks mendatar, lunak dan terdapat pembukaan.

E. Tanda – tanda permulaan persalinan.
– Kepala turun memasuki PAP terutama pada primigravida. Pada primigravida kepala anak pada bulan terakhir berangsur – angsur turun kedalam rongga panggul. Pada multigravida, dinding rahim dan perut sudah kendor kekenyalannya sudah berkurang sehingga kekuatan mendesak kebawah tidak seberapa, biasanya kepala bru turun pada permulaan persalinan.
– Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.
– Perasaan sering atau susah BAB karena vesika urinaria karena tertekan oleh bagian terbawah janin.
– Perasaan sakit diperut dan pinggang oleh adanya his.
– Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, sekresi bertambah, kadang – kadang bercampur darah.

G. Proses Persalinan
1. Kala I.
 Dimulai dari saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10cm)
 Terbagi menjadi 2 fase :
– fase laten : serviks berdilatasi kurang dari 4 cm
– fase aktif : serviks berdilatasi 4 – 9 cm, kecepatan pembukaan 1cm atau lebih perjam, penurunan kepala dimulai.
 Pada kala pembukaan his belum begitu kuat, datangnya 10 – 15 menit dan tidak seberapa mengganggu ibu hingga ia sering masih dapat berjalan
 Lambat laun his bertambah kuat, interval menjadi lebih pendek, kontraksi lebih kuat dan lebih lama, lendir darah bertambah banyak.
 Lamanya kala I untuk primipara 12 jam dan untuk multipara 8 jam.

2. Kala II
1. Dimulai dari pembukaan lengkap sampai lahirnya bayi.
2. His menjadi lebih kuat, kontraksinya selama 50 – 100 detik, datangnya tiap 2 – 3 menit. Ketuban biasanya pecah dalam kala ini dan ditandai dengan keluarnya cairan yang kekuningan secara tiba-tiba dan banyak.
3. Pasien mulai mengejan.
4. Pada akhir kala 2 sebagai tanda bahwa kepala sudah sampai didasar panggul, perineum menonjol, vulva menganga dan rectum terbuka.
5. Dipuncak his, bagian terkecil dri kepala nampak dalam vulva, tetapi hilang lagi waktu his berhenti. Pada his berikutnya bagian kepala yang nampak lebih besar lagi, tetapi surut kembali kalau his terhenti. Kejadian ini disebut kepala membuka pintu.
6. Maju dan surutnya kepala berlangsung terus, sampai lingkaran terbesar dari kepala terpegang oleh vulva sehingga tidak dapat mundur lagi. Pada saat ini tonjolan tulang ubun – ubun saat ini telah lahir dan sub oksiput ada dibawah simpisis. Pada saat ini disebut kepala keluar pintu. Karena pada his berikutnya dengan ekstensi lahirlah ubun – ubun besar, dahi dn mulut pad komisura posterior.
7. Setelah kepala lahir ia jatuh kebawah dan kemudian terjadi putaran paksi luar, sehingga kepala melintang. Sekarang vulva menekan pada leher dan dada tertekan oleh jalan lahir sehingga dari hidung anak keluar lendir dan cairan.
8. Pada his berikutnya bahu lahir, bahu belakang dulu kemudian baru depan disusul oleh seluruh badan anak dengan fleksi lateral sesuai dengan paksi jalan lahir.
9. Lamanya kala 2 pada primi kurang lebih 50 menit dan pada multi kurang lebih 20 menit.

3. Kala III
– Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta.
– Lamanya kala uri kurang lebih 8,5 menit dan pelepasan plasenta hanya memakan waktu 2 – 3 menit.

4. Kala IV
– Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum.

H. Diagnosa keperawatan tujuan dan intervensi.
Kala I :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi dan intensitas kontraksi uterus.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 3 jam pasien dapat beradaptasi terhadap nyeri dengan KH :
– Tampak rileks diantara kontraksi
– Dapat mengontrol penyebab nyeri
Intervensi :
– Kaji derajat ketidak nyamanan malalui isyarat verbal dan non verbal.
– Jelaskan penyebab nyeri.
– Ajarkan klien cara mengontrol nyeri dengan menggunakan tehnik pernapasan / relaksasi yang tepat dan masses pinggang
– Bantu tindakan kenyamanan mis : gosokan pada kaki, punggung, tekanan sakral, perubahan posisi.
– Anjurkan klien untuk berkemih setiap 1- 2 jam, palpasi diatas simpisis untuk menentukan ada tidaknya distensi setelah blok syaraf.
– Hitung waktu dan catat frekuensi, intensitas dan pola kontraksi uterus setiap 30 menit.
– Monitor vital sign.
2. Resti cedera / distress terhadap janin behubungan dengan hipoksia jaringan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kurang lebih selama 1 x 3 jam tidak terjadi cedera pada janin dengan KH :
– DJJ dalam batas normal
Intervensi :
– Lakukan palpasi (leopold) untuk menentukan posisi janin, berbaring dan presentasi.
– Hitung DJJ dan perhatikan perubahan periodik pada respon terhadap kontraksi uterus.
– Catat kemajuan persalinan.
3. Resti cedera terhadap maternal berhubungan dengan perlambatan mortilitas gastric, dorongan fisiologis.
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan kurang lebih 1 x 2 jam tidak terjadi cedera pada maternal dengan KH :
– Klien mengatakan resiko dan alasan dan intervensi khusus sudah dimengerti.
– Klien kooperatif untuk melindungi diri sendiri / janin dari dari cedera.
– Klien bebas dari cedera / komplikasi
Intervensi :
– Pantau aktivitas uterus , catat frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi.
– Lakukan tirah baring saat persalinan menjadi lebih intensif. Hindari meninggalkan klien tanpa perhatian.
– Tempatkan klien pada posisi agak tegak miring kiri
– Berikan perawatan perineal setiap 4 jam.
– Pantau suhu dan nadi.
– Berikan es batu atau cairan jernih pada klien bila memungkinkan, hindari makanan padat.
– Anjurkan klien untuk bernapas pendek dan cepat atau meniup bila ada dorongan untuk mengejan.
4. Resti gangguan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan perubahan suplai O2 atau aliran darah : anemia dan pendarahan sekunder
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pertukaran gas pada janin dengan KH :
– DJJ dalam batas normal (120 – 160 x / menit).
– Bayi tidak mengalami hipoksia selama persalinan.
Intervensi :
– Kaji faktor – faktor maternal atau kondisi yang menurunkan sirkulasi uteroplasental.
– Pantau DJJ setiap 15 – 30 menit.
– Pantau DJJ dengan segera bila ketuban pecah.
– Pantau besarnya janin pada jalan lahir melalui pemerikasaan vagina .
– Kaji perubahan DJJ selama kontraksi.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan dilatasi atau regangan dan hipoksia jaringan, tekanan mekanik dari bagian presentasi.
Tujuan :
Pasien dapat bertoleransi terhadap nyeri dengan KH :
– Klien menyatakan rasa nyeri berkurang.
– Klien mampu menggunakan tehnikm yang tepat untuk mempertahankan kontrol, istirahat diantara kontraksi.
Intervensi :
– Kaji derajat ketidakmampuan melalui isyarat verbal dan non verbal.
– Kaji perubahan klien terhadap sentuhan fisik selama kontraksi.
– Pantau frekuensi, durasi, dan intensitas kontraksi uterus.
– Bantu klien dan ajarkan mengubah bernapas menjadi lebih cepat mis : tiupan napas pendek dan cepat.
– Berikan lingkungan yang tenang dengan ventilasi adekuat.
– Lakukan gosokan sakral / punggung, pengubahan posisi.
– Pantau dilatasi serviks.
– Catat penonjolan perineal.
– Anjurkan klien untuk berkemih (fase laten)
– Berikan dorongan dan informasi tentang kemajuan persalinan dan berikan reinforcement untuk upaya klien / pasangan.
– Pantau tanda vital ibu dan janin.
– Kolaborasi pemberian analgesik.
6. Resti terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, hipovolemia, perubahan tahanan vaskuler sistemik.
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung dengan KH :
– Tanda – tanda vital sesuai terhadap tahap persalinan.
– Tidak ada edema, DJJ dalam batas normal (120 – 160 x / menit).
Intervensi :
– Kaji tekanan darah dan nadi diantara kontraksi, sesuai indikasi
– Perhatikan ada dan luasnya edema.
– Pantau DJJ selama dan diantara kontraksi.
– Infus balance cairan.
7. Kurangnya pengetahuan tentang proses persalinan berhubungan dengan kurangnya sumber – sumber informasi.
Tujuan :
Klien dan keluarga mengetahui tentang proses persalinan dengan KH :
– Klien memahami respon fisiologis setelah melahirkan.
– Secara aktif klien ikut dalam upaya mendorong untuk meningkatkan pengeluaran plasenta.
Intervensi :
– Diskusikan proses normal persalinan kala III.
– Jelaskan alasan untuk respon perilaku seperti menggigit, tremor.
– Diskusikan ritinitas periode pemulihan selama 4 jam pertama setelah melahirkan.

Kala II :
1. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan aktif, penurunan masukan
Tujuan :
– Tidak terjadi kekurangan volume cairan dalam tubuh dengan KH :
– Tanda – tanda vital dalam batas normal.
– Keluaran urine adekuat.
– Membran mukosa kental.
– Bebas dari rasa haus.
Intervensi :
– Ukur masukan dan keluaran.
– Kaji turgor kulit, beri cairan peroral.
– Pantau tanda – tanda vital sesuai indikasi.
– Kaji DJJ dan perhatikan perubahan periodek.
– Atur posisi klien tegak atau lateral.
– Kolaborasi pemberian cairan parenteral
2. Resti infeksi terhadap maternal berhubungan dengan prosedur infasif berulang. Trauma jaringan, persalinan lama.
Tujuan :
Klien tidak terjadi infeksi dengan KH :
– Bebas dari tanda – tanda infeksi (rubor, tumor, dolor, calor, dan fungsilaesa)
Intervensi :
– Lakukan perawatan perineal setiap 4 jam menggunakan tehnik aseptik.
– Catat tanggal dan waktu pecah ketuban.
– Lakukan pemeriksaan vagina hanya bila sangat perlu dengan menggunakan tehnik aseptik.
– Pantau tanda – tanda vital dan laborat leukosit.
– Gunakan aseptik bedah pada persiapan peralatan.
– Batasi jumlah orang yang ada pada saat persalinan.

Kala III :
1. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran pervaginam akibat atonia.
Tujuan :
Tidak terjadi kekurangan volume cairan akibat HPP. Dengan KH :
– Kontraksi uterus adekuat.
– Kehilangan darah dalam batas normal (<500 ml).
– Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
– Anjurkan klien untuk masase fundus.
– Pantau tanda – tanda vital dan pengeluaran pervaginam.
– Palpasi uterus dan masase uterus perlahan setelah pengeluaran plasenta.
– Catat waktu dan mekanisme pelepasan plasenta.
– Pantau tanda dan gejala kehilangan cairan yang berlebihan.
– Inspeksi permukaan plasenta maternal dan janin, perhatikan ukuran, insersi tali pusat dan ketuban.
– Berikan cairan peroral.
– Hindari menarik tali pusat secara berlebihan.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, respon fisiologis setelah melahirkan.
Tujuan :
Pasien dapat beradaptasi terhadap rasa nyeri dengan KH :
– Klien menyatakan nyeri berkurang atau klien beradaptasi dengan nyerinya.
– Ekspresi wajah rileks tak gelisah.
– Perut tidak mules, luka bersih dan tidak bengkak.
Intervensi :
– Bantu dengan penggunaan tehnik pernapasan selama perbaikan luka.
– Berikan kompres es pada perineum setelah melahirkan.
– Lakukan perawatan luka episiotomi dengan tehnik aseptik dan oleskan salep topikal.
– Ganti pakaian dan klien yang basah, berikan selimut yang hangat.
– Jelaskan pada klien perubahan fisiologis setelah melahirkan.

Kala IV :
1. Perubahan ikatan proses keluarga berhubungan dengan transisi atau peningkatan perkembangan anggota keluarga.
Tujuan :
Klien mampu beradaptasi dengan perubahan setelah melahirkan dengan KH
– Klien menggendong bayinya.
– Klien mampu mendemonstrasikan perilaku kedekatan dan ikatan yang tepat.
Intervensi :
– Anjurkan klien untuk menggendong, menyentuh dan memeriksa bayi.
– Anjurkan ayah untuk menyentuh dan menggendong bayi serta membantu dalam perawatan bayi, sesuai kondisinya.
– Observasi dan catat interaksi bayi – keluarga, perhatikan perilaku untuk menunjukkan ikatan dan kedekatan dalam budaya khusus.
– Catat perilaku / pengungkapan yang menunjukkan kekecewaan / kurang minat / kedekatan.
– Anjurkan dan bantu pemberian ASI.

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes M. E. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Moechtar Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi, Jilid I, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Saifudin A.B dkk. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal, Edisi I, Catatan I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sasworo Prawirohardjo.

 

Posted in LP-LP | Leave a Comment »

Soal Jawa Sidang Skripsi / KTI

Posted by Dwi Prianto pada 3 November 2010

Sebelumnya Hikari Solution.Net ingin menyampaikan bahwa tulisan ini hanya sekedar untuk berbagi ilmu khususnya dengan mahasiswa tingkat akhir yang akan menghadapi ujian sidang Skripsi / Karya Tulis Ilmiah Keperawatan dan Kebidanan. Dan apapun isi tulisan ini hanya sekedar informasi saja bukan soal jawab yang pasti akan dihadapi oleh Mahasiswa, tetapi setidaknya memberikan gambaran mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan oleh dosen penguji sehingga diharapkan mahasiswa dengan membaca tulisan ini dapat mempunyai bekal dan motivasi sehingga belajar lebih giat lagi.

Pertanyaan seputar Latar Belakang:
1. Judul penelitian kamu apa?
2. Mengapa kamu mengambil judul itu?
3. Apakah memang ada permasalahan di masyarakat saat ini, sehingga harus dilakukan penelitian tentang itu?
4. Tujuan penelitiannya apa?
5. Faktor apa saja kamu ambil? Mengapa hanya factor-faktor itu saja? Apa bedanya factor langsung dan tidak langsung?
6. Judul kamu hubungan atau pengaruh?
7. Manfaat penelitiannya apa?

Pertanyaan seputar Tinjauan Pustaka :
1.Coba kamu jelaskan setiap factor yang kamu ambil dalam penelitian ini?
2.Dari mana sumber teori yang kamu peroleh?

Pertanyaan seputar Metode Penelitian :
1.Jenis penelitian kamu apa?
2.Penelitian kuantitatif itu apa? Kalau analitik apa?
3.Penelitian case control itu apa?
4.Penelitian korelasi itu apa?
5.Pendekatan cross sectional itu apa?
6.Apa yang dimaksud dengan kerangka konsep? Dan bedanya dengan kerangka teori itu apa?
7.Apa itu variabel penelitian? Ada berapa macam?
8.Sebutkan setiap varibel penelitian kamu?
9.Variabel independen itu apa? Samakah dengan variable terikat?
10.Variabel dependen itu apa? Samakah dengan variable bebas?
11.Apa yang dimaksud dengan hipotesis?
12.Hipotesis nol itu apa (ho)? Dan hipotesis kerja itu apa (ha)?
13.Hipotesis penelitian kamu apa saja?
14.Apa yang dimaksud dengan populasi dalam penelitian?
15.Populasi penelitian kamu apa? Berapa jumlahnya?
16.Sampel apa? Sampel penelitian kamu berapa? Kenapa?
17.Bagaimana cara menentukan jumlah sampel penelitian kamu?
18.Setelah kamu tahu jumlah sampelnya, bagaimana cara pengambilan sampelnya? Menggunakan teknik apa, jelaskan?
19.Penelitian kamu menggunakan intsrumen tidak?
20.Apa itu instrument, ada berapa macam?
21.Bedanya data primer dan sekunder apa?
22.Data penelitian kamu termasuk primer atau sekunder?
23.Instrumen kamu pake uji validitas tidak? Mengapa?
24.Apa yang dimaksud dengan analisis univariat?
25.Apa yang dimaksud dengan analisis bivariat?
26.Tabel silang itu apa?
27.Uji statistik (chi square / regresi / korelasi / T test) itu apa?
28.Bagaimana cara mengambil kesimpulannya?
29.Apa itu P value?
30.Apa itu fisher exact test? Dan bilamana terjadi?

Pertanyaan seputar Penelitian case control:
1.Apa yang dimaksud dengan penelitian case control?
2.Apa itu case (kasus) dan control dalam penelitian kamu?
3.Mengapa penelitian ini menggunakan case control?
4.Bagaimana cara menentukan jumlah sampelnya?
5.Apa yang dimaksud dengan criteria inklusi dan eksklusi?
6.Apa yang dimaksud dengan OR?
7.Bagaimana cara mengambil kesimpulannya?

Pertanyaan seputar Uji Validitas/Reliabilitas:
1.Apa yang dimaksud uji validitas dan uji reliabilitas?
2.Mengapa dilakukan uji tersebut?
3.Bagaimana cara melakukan uji validitas kapan pelaksanaannya? Mengapa sebelum penelitian?
4.Lokasinya dimana? Samakah dengan tempat penelitian? Mengapa?
5.Berapa responden uji coba yang digunakan?
6.Jelaskan langkah-langkah uji validitas di lapangan?
7.Bagaimana cara mengambil kesimpulan valid dan reliable?
8.R table itu apa, berapa r table untuk n = 30 (misalnya) atau n yang digunakan berapa?
9.Berapa tahap uji validitas dilakukan dan pengolahannya bagaimana?

Pertanyaan seputar Pengolahan Data?
1.Bagaimana tahapan pengolahan data penelitian?
2.Perlukan program M. Excel untuk mengolah data penelitian?
3.Tahukah kamu tentang SPSS?
4.Apa itu SPSS?
5.Bagaimana cara kerjanya?

Pertanyaan seputar Hasil Penelitian dan Pembahasan:
1.Distribusi frekuensi itu apa (lihat spss)?
2.Mengapa analisis univariat mengambil dari table frekuensi?
3.Mana yang lebih besar factor resiko atau non resiko? Mengapa hal demikian terjadi di tempat penelitian?
4.Tabel crosstab itu apa (lihat spss)?
5.Tabel chi square itu apa (lihat spss)?
6.P value itu apa?
7.Hasil analisis bivariat p valuenya berapa? Ada hubungan kah atau tidak? Darimana kamu bisa menyimpulkan itu ada/tidak hubungan?
8.Hasil penelitian kamu sejalan/ tidak sejalan dengan teori? Teori apa? Mengapa?
9.Adakah hasil penelitian orang lain mendukung penelitian kamu?
10.Hasil penelitian kamu menyimpang tidak? Jika menyimpang mengapa bisa terjadi? Ada apa dengan kamu?

Pertanyaan seputar Kesimpulan dan Saran?
1.Kesimpulan dari penelitian kamu apa?
2.Sarannya dari hasil penelitian kamu apa?

Posted in Hasil Penelitian | 3 Comments »

Konsep Praktek

Posted by Dwi Prianto pada 22 April 2010

Praktek

Praktek otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan praktek menjadi nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping fasilitas juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003). Tingkatan praktek menurut Notoatmodjo (2003) ada 4 antara lain:
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2. Respon Terpimpin (guided respon)
Dapat melakukan sesuatu yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua.
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat ketiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi tindakan tersebut. Adaptasi praktek (tindakan) memiliki beberapa indikator, antara lain (Notoatmodjo, 2003). :
a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit
Tindakan ini mencakup antara lain:
1) Pencegahan penyakit, misalnya mengimunisasikan anak.
2) Penyembuhan penyakit, misalnya minum obat sesuai petunjuk dokter.
b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. tindakan atau perilaku ini mencakup antara lain: mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olah raga secara teratur, dan praktek perawatan kesehatan sebagainya.
c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan.
Perilaku ini mencakup buang air besar dijamban, membuang sampah pada tempatnya.

Tindakan (praktek) dikatakan benar jika hampir 50% tindakan atau praktek sesuai dengan teori yang ada. Begitu sebaliknya jika tindakan atau praktek kurang dari 50% dari teori yang ada maka praktek dikatakan salah.
Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menganalisis perilaku manusia tersebut dalam perilaku manusia pada tingkat kesehatan. Sedangkan kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh:
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposising factors)
Faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk berperilaku dalam kesehatan misalnya melakukan pemeriksaan pada ibu postpartum diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tentang manfaat merawat payudara setelah melahirkan, bagi kesehatan ibu dan bayinya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Misalnya praktek merawat payudara, ibu yang mau merawat payudara tidak hanya tahu dan sadar manfaat merawat payudara melainkan ibu dengan mudah dapat memperoleh fasilitas untuk memeriksa payudaranya ke pelayanan kesehatan.
3. Faktor-faktor penguat
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, agama, sikap dan perilaku para petugas kesehatan termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku .
Menurut Notoatmodjo (2003), bentuk perilaku secara lebih operasional dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut, respon ini berbentuk dua macam, yaitu:
a. Bentuk pasif
Perilaku bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin atau pengetahuan. Perilaku seperti ini juga disebut perilaku yang masih terselubung (covert behavior).
b. Bentuk aktif
Perilaku bentuk aktif dapat diobservasi dengan jelas secara langsung. Perilaku tersebut sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata sehingga disebut “overt behavior”.
Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku terbagi menjadi 2 faktor yaitu :
a. Faktor intern
Faktor intern berfungsi untuk mengelola rangsangan dari luar, faktor ini meliputi: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi.
b. Faktor ekstern
Faktor ekstern ini meliputi lingkungan fisik maupun non fisik seperti: iklim, manusia, sosial ekonomi dan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Posted in Kumpulan Materi | Leave a Comment »

Konsep Perilaku Seksual Pranikah

Posted by Dwi Prianto pada 16 April 2010

Perilaku Seksual Pranikah
A. Pengertian
Hubungan seksual adalah persenggamaan atau bersatunya alat kelamin laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh dua orang yang tidak ingin hidup bersama dalam perkawinan atau keluarga (Mu’tadin, 2002). Selain itu hubungan seksual pranikah juga diartikan sebagai hubungan seksual sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik hubungan seksual yang penetratif (penis dimasukkan kedalam vagina) maupun yang non penetratif (penis tidak dimasukkan kedalam vagina). Perilaku seksual adalah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik dari anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Hidayatul, 2008).
Dengan matangnya fungsi-fungsi organ seksual pada remaja, maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginan untuk memuaskan seksual yaitu dengan khayalan, membaca buku atau memutar film porno (Purwanto, 1999).

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seksual Pranikah
Faktor-faktor yang mempengaruhi seksual pranikah adalah sebagai berikut:
1. Faktor eksternal
Pergaulan bebas tanpa kendali orang tua yang menyebabkan remaja merasa bebas untuk melakukan apa saja Perkembangan teknologi media komunikasi yang semakin canggih, memungkinkan remaja dapat mengakses informasi apa saja termasuk hal-hal yang negatif. Kurangnya pengetahuan remaja tentang seksual. Seksualitas dianggap masih tabu untuk dibicarakan bagi kalangan orang tua kepada anaknya, sehingga remaja mencari informasi dari tempat lain misalnya dari VCD ataupun buku-buku yang dikategorikan porno, termasuk berbagai tayangan TV yang semakin vulgar dan juga teman yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang seksual (Astini, 2009) .
2. Faktor Internal
Terjadinya perubahan-perubahan hormonal seperti peningkatan hormon testoteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan, padat meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku (Ginting, 2008).

C. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja
1. Berpegangan tangan
Perilaku seksual ini biasanya dapat menimbulkan keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya, sehingga kepuasan seksual lainnya tercapai (Irawati,1999).
2. Berpelukan
Perilaku seksual berpelukan akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan menimbulkan rangsangan seksual pada individu (Irawati, 1999).
3. Cium kering
Perilaku seksual cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir (Ginting, 2008). Dampak dari cium pipi bisa mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang disamping juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke bentuk aktifitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati (Irawati, 1999).
4. Cium basah
Aktifitas cium basah berupa sentuhan bibir dengan bibir (Irawati,1999). Dampak dari cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat dan menimbulkan dorongan seksual hingga tidak terkendali, dan apabila dilakukan terus menerus akan menimbulkan perasaan ingin mengulanginya lagi (Ginting, 2008).
5. Meraba bagian tubuh yang sensitif
Merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian tubuh yang sensitif seperti payudara, vagina dan penis (Ginting, 2008). Dampak dari tersentuhnya bagian yang paling sensitif tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat, akibatnya bisa melakukan aktifitas seksual selanjutnya seperti intercourse (Irawati,1999).
6. Petting
Merupakan keseluruhan aktifitas seksual non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin), dampak dari petting yaitu timbulnya ketagihan (Ginting, 2008).
7. Oral seksual
Oral seksual pada laki-laki adalah ketika seseorang menggunakan bibir, mulut dan lidahnya pada penis dan sekitarnya, sedangkan pada wanita melibatkan bagian di sekitar vulva yaitu labia, klitoris, dan bagian dalam vagina (Ginting, 2008).
8. Intercource atau bersenggama
Merupakan aktifitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, dampak dari hubungan seksual pranikah adalah perasaan bersalah, dan berdosa terutama pada saat pertama kali, ketagihan, kehamilan sehingga terpaksa menikah dan aborsi, kematian dan kemandulan akibat aborsi, resiko terkena Perilaku Menular Seksual atau HIV, sangsi sosial, agama serta norma, hilangnya keperawanan dan perjakaan, merusak masa depan (terpaksa drop out sekolah) (Ginting, 1999).

D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Sarwono (2003), mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual adalah :
1. Perubahan hormonal
yaitu terjadinya perubahan seperti peningkatan hormon testosteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan, dapat menimbulkan hasrat (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu (Sarwono, 2003).
2. Penundaan usia perkawinan
Merupakan penyaluran hasrat seksual yang tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia minimal (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki) (Sarwono, 2003).
3. Norma-norma di masyarakat
Yaitu norma-norma agama tetap yang berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut. Norma budaya dalam perilaku seksual pranikah adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah (Sarwono, 2003).
4. Penyebaran informasi melalui media massa
Merupakan kecenderungan pelanggaran semakin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (video cassette, foto copy, satelite palapa, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Sarwono, 2003).
5. Tabu-larangan
Orang tua sendiri baik karena ketidak tahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, tidak terbuka terhadap anak sehingga cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual (Sarwono, 2003).
6. Pergaulan yang makin bebas.
Adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan perempuan makin sejajar dengan laki-laki (Sarwono, 2003).

E. Dampak Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja yaitu :
1. Dampak fisiologis
Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah diantaranya kehamilan tidak diinginkan, aborsi, resiko terkena penyakit menular seksual (PMS) dan resiko tertular Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) jika remaja melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan (Santrock, 2003).
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja dapat meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Salah satu faktor yang penting dalam kehamilan adalah umur ibu waktu hamil. Usia remaja (dibawah 20 tahun) dianggap sangat berbahaya untuk kehamilan sebab secara fisik tubuh ibu sendiri masih dalam masa pertumbuhan, organ-organ reproduksi masih belum matang. Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan lebih rendah dan kematian pada bayi (Santrock, 2003).
Dampak yang berikutnya aborsi, tidak sedikit remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi, padahal aborsi sangat berbahaya, diantaranya : Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini dapat membuat remaja mengalami kemandulan dikemudian hari setelah menikah. Perdarahan, sehingga remaja dapat mengalami shock akibat perdarahan dan gangguan neurologist. Selain itu, perdarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu dan anak atau keduanya. Resiko terjadinya rupture uterus atau robeknya rahim lebih besar, juga menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Terjadinya fistula genitalia traumatis, suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada (Santrock, 2003).
Dampak yang selanjutnya adalah penyakit menular seksual yaitu merupakan infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual berbahaya karena dapat menimbulkan kemandulan, menyebabkan kemandulan, kanker rahim, merusak penglihatan, merusak otak dan hati, dapat menular pada bayi, dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), serta beberapa penyakit menular seksual ada yang tidak bisa disembuhkan. Beberapa penyakit menular seksual diantaranya adalah Gonnorhea, Sifilis, Chlamydia, dan Herpes genitalis (Santrock, 2003).
Dampak fisiologis yang terakhir adalah Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. Acquired Immune Deficiency Syndrome disebabkan karena adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh. Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) ini hidup didalam 4 cairan tubuh manusia yaitu cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Kebanyakan remaja yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus tidak akan sakit sampai mereka dewasa karena waktu laten yang terjadi sejak terinfeksi untuk kali pertamanya sampai munculnya penyakit berkisar 5 sampai 7 tahun (Santrock, 2003).
2. Dampak psikologis
Menurut Sarwono (2003) dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa. Dampak sosial dari perilaku seksual pranikah diantaranya dikucilkan, cemoohan masyarakat, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran ibu.

DAFTAR PUSTAKA

Astini. (2008). Seks pranikah ancaman masa depan remaja. Available : http://www.Osis-smandapura. Net/index.Php?pilih=hal &id=20.

Ginting, Perana. (2008). Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah. Available : http : //www.indoskripsi.com.

Hidayatul, F, Anung. (2008). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi Tentang Hubungan Seksual Pra Nikah di SMA N 2 Semarang. UNIMUS : Tidak dipublikasikan.

Irawati, I. (1999). Modul Perkembangan Seksualitas Remaja. Bandung : PKBI – UNFPA.

Mutadin, Z., (2002). Pendidikan seksual pada remaja. Available : http : //www. e-psikologi.com.

Purwanto. (1999). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sarwono, S.W. (2003). Psikologi Remaja. Edisi I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja . Alih bahasa oleh : Shinto B.A dan S. Saragih. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Posted in Kumpulan Materi | Leave a Comment »

Konsep Remaja

Posted by Dwi Prianto pada 16 April 2010

Remaja
A. Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescene (kata bendanya adolescenta yang berarti remaja) yang berarti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 2001). Pedoman umum remaja di Indonesia menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah (Soetjiningsih, 2004).
Adolescence artinya berangsur-angsur menuju kematangan secara fisik, akal, kejiwaan dan sosial serta emosional. Hal ini mengisyaratkan kepada hakikat umum, yaitu bahwa pertumbuhan tidak berpindah dari satu fase ke fase lainya secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan itu berlangsung setahap demi setahap (Al-Mighwar, 2006).
Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa remaja, yang sering kali remaja dihadapkan pada situasi yang membingungkan, disatu pihak dia harus bertingkah laku seperti orang dewasa dan disisi lain dia belum bisa dikatakan dewasa. (Purwanto, 1999).
Perubahan masa pubertas pada remaja putri adalah terjadi menarche (menstruasi pertama kali). Hal ini menunjukkan bahwa organ reproduksi mulai matang. Apabila seks pranikah terjadi pada remaja putri dampak yang paling membahayakan yaitu kehamilan.dan efek negatif dari kehamilan adalah abortus.

B. Pengkategorian Remaja
World Health Organization menetapkan batas usia remaja dalam 2 bagian yaitu:
1) Periode remaja awal (early adolescence)
Periode ini berkisar antara umur 10 sampai 12 tahun. Periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.
2) Periode remaja akhir
Periode ini antara umur 15 sampai 20 tahun. Periode remaja adalah periode pemantapan identitas diri. Pengertiannya akan “siapa aku” yang dipengaruhi oleh pandangan orang-orang sekitarnya serta pengalaman-pengalaman pribadinya akan menentukan pola perilakunya sebagai orang dewasa. Pemantapan identitas diri ini tidak selalu berjalan lancar, tetapi sering melalui proses yang panjang dan bergejolak. Oleh karena itu, banyak ahli menamakan periode ini sebagai masa-masa storm and stress (Latifah, 2008).
Pengkategorian remaja berdasarkan jenis kelamin (Hurlock, 2001):
1) Remaja laki-laki
Remaja laki-laki mengalami pubertas antara umur 14-17 tahun dengan tanda-tanda yaitu: mimpi basah, timbul rambut di ketiak, dada dan dagu, tidak cepat terbawa emosi, tidak cepat mengeluh, tidak mudah putus asa.
2) Remaja putri
Remaja putri mengalami pubertas berlangsung pada umur 12-15 tahun, dengan tanda-tanda yaitu: menars (menstruasi pertama), timbul rambut di ketiak dan kemaluan, pembesaran payudara dan pinggul.

C. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya, ciri-ciri tersebut antara lain :
1. Masa remaja sebagai masa yang penting
Adanya akibat yang langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode lainya (Al-Mighwar, 2006). Selain itu perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada awal remaja, yang semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 2001).
2. Masa remaja sebagai masa peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan apa yang terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang (Hurlock, 2001). Pada setiap periode peralihan, nampak ketidakjelasan status individu dan munculnya keraguan terhadap perananannya dalam masyarakat (Al-Mighwar, 2006).
3. Masa remaja sebagai masa perubahan
Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat, kalau perubahan fisik menurun maka perubahan perilaku dan sikap menurun juga (Hurlock, 2001).
4. Masa remaja sebagai masa pencari identitas
Penyesuaian diri dengan standar kelompok dianggap jauh lebih penting bagi remaja daripada individualitas, dan apabila tidak menyesuaikan kelompok maka remaja tersebut akan terusir dari kelompoknya (Al-mighwar, 2006). Tetapi lambat laun mereka mulai mencari identitas diri dan tidak puas lagi sama dengan teman-temannya dalam segala hal, seperti sebelumnya (Hurlock, 2001).
5. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan (Hurlock, 2001). Dan banyak remaja yang menyadari bahwa penyelesaian yang ditempuhnya sendiri tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Al-Mighwar, 2006).
d. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja antara lain :
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita
Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya terlambat. Kebanyakan harapan ditumpukkan pada hal ini adalah bahwa remaja muda akan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola perilaku. (Hurlock, 2001).
2. Mencapai peran sosial pria, dan wanita
Perkembangan masa remaja yang penting akan menggambarkan seberapa jauh perubahan yang harus dilakukan dan masalah yang timbul dari perubahan itu sendiri. Pada dasarnya, pentingnya menguasai tugas-tugas perkembangan dalam waktu yang relatif singkat sebagai akibat perubahan usia kematangan yang menjadi delapan belas tahun, menyebabkan banyak tekanan yang mengganggu para remaja. (Hurlock, 2001).
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
Seringkali sulit bagi para remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai dengan apa yang dicita-citakan. (Hurlock, 2001).
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi laki-laki; mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi halnya berbeda bagi anak perempuan. Sebagai anak-anak, mereka diperbolehkan bahkan didorong untuk memainkan peran sederajat, sehingga usaha untuk mempelajari peran feminin dewasa yang diakui masyarakat dan menerima peran tersebut, seringkali merupakan tugas pokok yang memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun.
Karena adanya pertentangan dengan lawan jenis yang sering berkembang selama akhir masa kanak-kanak dan masa puber, maka mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan untuk mengetahui lawan jenis dan bagaimana harus bergaul dengan mereka. Sedangkan pengembangan hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sesama jenis juga tidak mudah. (Hurlock, 2001).
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Namun, kemandirian emosi tidaklah sama dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua atau orang-orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan atau yang kurang memiliki hubungan yang akrab dengan anggota kelompok. (Hurlock, 2001).
6. Mempersiapkan karier ekonomi
Kemandirian ekonomi tidak dapat dicapai sebelum remaja memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Kalau remaja memilih pekerjaan yang memerlukan periode pelatihan yang lama, tidak ada jaminan untuk memperoleh kemandirian ekonomi bilamana mereka secara resmi menjadi dewasa nantinya. Secara ekonomi mereka masih harus tergantung selama beberapa tahun sampai pelatihan yang diperlukan untuk bekerja selesai dijalani. (Hurlock, 2001).
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
Kecenderungan perkawinan muda menyebabkan persiapan perkawinan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Meskipun tabu sosial mengenai perilaku seksual yang berangsur-ansur mengendur dapat mempermudah persiapan perkawinan dalam aspek seksual, tetapi aspek perkawinan yang lain hanya sedikit yang dipersiapkan. Kurangnya persiapan ini merupakan salah satu penyebab dari masalah yang tidak terselesaikan, yang oleh remaja dibawa ke masa remaja (Hurlock, 2001).
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi
Sekolah dan pendidikan tinggi mencoba untuk membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai dewasa, orang tua berperan banyak dalam perkembangan ini. Namun bila nilai-nilai dewasa bertentangan dengan teman sebaya, masa remaja harus memilih yang terakhir bila mengharap dukungan teman-teman yang menentukan kehidupan sosial mereka. Sebagian remaja ingin diterima oleh teman-temannya, tetapi hal ini seringkali diperoleh dengan perilaku yang oleh orang dewasa dianggap tidak bertanggung jawab (Hurlock, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Migwar, M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung : Pustaka Setia.

Hurlock, E. (2001). Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

Latifah, Melly. 2008. Karakteristik Remaja. Available : http : //www.Child Development. Com.

Purwanto. (1999). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Soetjiningsih. (2004). Pertumbuhan Somatik Pada Remaja. Jakarta : Sagung Seto.

Posted in Kumpulan Materi | Leave a Comment »

Leaflet Pijat Bayi

Posted by Dwi Prianto pada 6 April 2010

Pijat Bayi

PENGERTIAN
Pemijatan pada bayi merupakan suatu ikatan yang indah antara bayi dan orang tuanya, Pijat bayi sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik dan emosi bayi.

KAPAN USIA YANG TEPAT UNTUK MEMULAI PIJATAN?
Teknik memijat yang tersaji di sini dapat mulai dilakukan kapanpun orang tua ingin segera memulainya. Pijatan paling bermanfaat bagi bayi adalah dipijat setiap hari pada enam atau tujuh bulan usianya.

WAKTU YANG TEPAT
UNTUK MEMULAI PIJATAN
Pagi hari saat orang tua dan bayi siap memulai hari.
Pada waktu malam untuk membantu bayi tidur lebih nyenyak.

SEBELUM MULAI, PASTIKAN :
 Tangan Anda bersuh dan hangat
 Kuku dan perhiasan Anda tidak akan menggores kulit bayi
 Ruang Anda hangat dan tidak berangin
 Bayi tidak dalam keadaan lapar atau baru saja makan.
 Anda tidak terganggu selama + 15 menit.
 Anda duduk dengan nyaman dan santai
 Bayi dibaringkan di tempat yang rata dengan alas kain yang lembut.
 Anda telah menyiapkan handuk, popok ekstra, baju ganti, dan baby oil.

TIPS YANG BOLEH DILAKUKAN :
 Terus lakukan kontak mata dengan bayi Anda.
 Nyanyikan lagu atau putarkan musik lembut untuk membantu Anda dan bayi Anda lebih relaks.
 Mulailah dengan sentuhan ringan dan perlahan tingkatkan tekanan pada saat Anda semakin yakin dan bayi anda terbiasa dipijat.
 Perhatikan isyarat yang ditunjukkan bayi Anda.
 Jika Anda menggunakan baby oil, mandikan bayi setelah dipijat.
 Jauhkan baby oil dari mata bayi.
 Konsultasikan kepada dokter anak untuk mendapat keterangan lebih lanjut.

TIPS YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN
• Memijat bayi tidak lama setelah ia makan/ disusui.
• Membangunkan bayi Anda untuk dipijat
• Memijat bayi jika dalam keadaan sakit.
• Memijat bayi dengan paksa.
• Memaksakan possisi saat memijat bayi.

KEUNTUNGAN DARI MEMIJAT BAYI SETIAP HARI
 Memacu sistem sirkulasi bayi, dan denyut jantung, pernapasan, pencernaan, dan kekebalan tubuh.
 Mendidik bayi untuk tenang dalam menghadapi stress.
 Mendorong pertumbuhan susunan otot.
 Sangat berarti untuk persiapan tubuh dalam berbagai kegiatan sera meningkatkan gerakan dan ketenangan bayi.
 Memberi pengetahuan yang besar bagi seorang Ayah/Ibu untuk lebih memahami anak mereka.
 Bagi seorang Ibu, pemijatan pada bayi juga membantu untuk melancarkan ASI sehingga membantu kelancaran dalam produksi susu maupun kemampuan Ibu mendapatkan ketenangan.

LANGKAH – LANGKAH
1. KAKI & TANGAN
a. Perahan India
Lakukan dari pangkal paha/pundak ke pergelangan kaki/tangan.
b. Perahan Swedia
Lakukan dari pergelangan kaki/tangan ke paha/pundak
c. Telapak kaki/tangan
Buat urutan di telapak secara bergantian mulai dari tumit ke arah jari
d. Jari-jari
Gerakan dilakukan dengan memijat jari-jari dan diakhiri dengan tarikan lembut pada setiap jari
e. Punggung Kaki/tangan
Dengan ibu jari secara bergantian, urutlah punggung kaki/tangan dari pergelangan keki/tangan ke jari kaki/tangan.
f. Gerakan menggulung
Menggulung dari pangkal paha/pundak sampai kepergelangan kaki/tangan dengan kedua telapak tangan.
g. Gerakan akhir
Rapatkan kedua kaki dan usapkan bersamaan

2. PERUT
a. Mengayuh pedal sepeda
Gerakkan kedua tangan bergantian dari perut atas ke bawah
b. Menekuk lutut dan tekan menuju perut, bisa juga dengan cara bergantian tekuk ke perut
c. Bulan Matahari
Tangan kanan membentuk lingkaran dari arah perut kanan bawah (sesuai arah jam); kemudian tangan kiri mengikuti dengan lingkaran bulan.
Bentuk lingkaran searah jarum jam dari tangan kiri mulai dari perut kanan bawah, kemudian diikuti dengan tangan kanan membuat gerakan setengah lingkaran mulai dari perut kanan bawah sampai perut kiri bawah.
d. I love you
”i” Buat gerakan membentuk huruf ”i” dari perut kiri atas ke bagian kiri bawah.
”love” Pijat dimulai dari kanan atas lalu ke kiri bawah membentuk huruf ”L” terbalik
”you” Pijat dimulai dari kanan atas, lalu ke kiri sampai ke perut kiri bawah membentuk huruf ”U” terbalik
e. Gelembung Udara
Tekan searah jarum jam dari kanan bawah ke kiri bawah

3. DADA
Pijatan ”kupu-kupu” memperkuat paru paru dan jantung
Letakkan kedua tanag pamijat di tengan dada bayi dan gerakkan ke atas kemudian ke sisi luar tubuh dan kembali ke ulu hati tanpa mengangkat tangan seperti membentuk hati, lalu dari tengan dada bayi pijat menyilang ke arah bahu seperti membentuk kupu-kupu.

4. PUNGGUNG
Pijatan ”maju mundur” memperkuat otot untuk menyakgga tulang belakang.
Pijat dengan gerakan maju mundur menggunakan kedua telapak tangan ke sepanjang punggungnya, luncurkan salah satu telapak tangan dari leher sampai pantat bayi dengan sedikit tekanan. Dengan jari-jari pemijat buat gerakan-gerakan melingkar terutama pada otot di sebelah tulang punggung. Buat gerakan memanjang dengan telapak tangan dari leher ke kakinya untuk mengakhiri pijatan.

5. WAJAH
Pijatan ”senyum” melemaskan otot wajah
a. Tekan jari-jari pemijat pada kening bayi, pelipis dan pipi.
b. Gunakan kedua jari untuk memijat daerah di atas alis.
c. Dengan tekanan lembut, tarik garis dengan ibu jari dari hidung ke arah pipinya.
d. Gunakan kedua ibu jari untuk memijat sekitar mulutnya hingga tersenyum.
e. Pijat lembut rahang bawah bayi dari tengah ke samping seolah membuat bayi tersenyum.
f. Pijat secara lembut daerah di belakang telinga ke arah dagu.

Posted in Materi Leaflet | Leave a Comment »

Leaflet Chronic Kidney Disease

Posted by Dwi Prianto pada 4 April 2010

Informasi Tentang CKD
(Chronic Kidney Disease)

PENGERTIAN
Apa Itu CKD…?
CKD atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan pengobatan yang serius. Baca entri selengkapnya »

Posted in Materi Leaflet | Leave a Comment »

Leaflet Manajemen Nyeri

Posted by Dwi Prianto pada 4 April 2010

Manajemen Nyeri

Pengertian Nyeri :
Definisi keperawatan tentang nyeri adalah sensasi apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan oleh individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya.

Macam Nyeri :
1. Nyeri Akut
2. Nyeri Kronik

Manajemen Nyeri :
1. Farmakologis
Kolaborasi dengan dokter, obat-obatan analgesia, narkotik cute oral atau parenteral (IM, IV, SC) untuk mengurangi nyeri secara cepat
2. Non Farmakologis
a. Stimulasi dan pijatan
Pasien jauh lebih nyaman karena otot relaksasi, sensasi tidak nyeri memblokir menurunkan transmisi nyeri, menggosok kulit, punggung, bahu.
b. Kompres Es dan Panas
• Es : menurunkan prostaglandin, sensitivitas reseptor nyeri kuat, menghambat inflamasi
• Panas : melancarkan aliran darah, nyeri berkurang
c. Distraksi
Suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal – hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang di alami.

Trik-trik :
 Memfokuskan sesuatu selain nyeri
 Persepsi nyeri berkurang
 Melihat film, musik, kunjungan teman–teman atau keluarga, permainan, aktivitas tertentu (misal : catur)
Beberapa teknik distraksi :
 Bernafas secara pelan – pelan, massase sambil menarik nafas pelan–pelan, mendengarkan lagu, sambil menepuk – nepukkan jari/kaki.
 Membayangkan hal – hal yang indah sambil menutup mata
 Menonton TV atau acara kegemaran
d. Relaksasi
 Ketegangan otot berkurang, nafas abdomen, frekuensi lambat, berirama
 Pejamkan mata, bernafas perlahan teratur konstan
 Menghitung dalam hati saat udara masuk dan keluar
 Perlu latihan dulu.
e. Imajinasi Terbimbing
 Membayangkan setiap energi dalam menarik nafas adalah energi kesembuhan.
 Bayangkan saat mengeluarkan nafas, nyeri keluar dan tegang berkurang.
 Sebagai tambahan dari bentuk pengobatan.

Posted in Materi Leaflet | 2 Comments »

LP Epilepsi

Posted by Dwi Prianto pada 1 April 2010

LP EPILEPSI

A. Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Baca entri selengkapnya »

Posted in LP-LP | Leave a Comment »